Novel ini menceritakan tentang kisah nyata dari perjalanan
hidup Buya Syafii Maarif, salah satu tokoh Muhammadiyah sekaligus guru spiritual yang cerdas.
Ahmad Syafii Maarif dilahirkan di desa Calau, Sumpur Kudus,
Sumatra Barat pada tahun 1937. Beberapa bulan setelah ia dilahirkan Ibunya
Fathiyah meninggal dunia, sehingga membuatnya dibesarkan oleh bibinya Bainah
(Etek Bainah). Namun hal itu tak membuat kasih sayang ayahnya Ma'rifah Rauf berkurang.
Ma’rifah Rauf adalah seorang kepala
nagari (kepala desa) yang yang gagah dan bersahaja, setiap hari ia disibukan
dengan bertani dan bertenak. Meskipun
ayahnya menikah lagi dengan beberapa wanita dan memiliki banyak anak karena
tuntutan adat, tak membuatnya luput memperhatikan perkembangan Pi'i -panggilan
Syafi'i kecil-
Pi'i tumbuh menjadi anak yang terlihat berbeda dari anak
anak diusianya. Cepat menangkap pelajaran, rajin, dan santun. Ia tumbuh menjadi
anak yang cerdas. Bersama 4 orang sahabatnya Hasan, Makdiah, Julai dan Zainal
ia menghabiskan masa kecilnya di Sekolah Rakyat Sumpur Kudus. Letak desa yang terpencil
dan jauh dari pusat kota yakni 150 km dari kota Padang, tak menghalangi mereka
untuk menikmati masa kecil mereka. Mandi di sungai, bermain lumpur disawah
adalah hal yang sering mereka lakukan setiap hari. Mencangkul disawah dan
menggembala ternak juga mereka kerjakan untuk membantu keluarga. Begitulah
hidup di desa kecil, harus serba bisa. Namun dibalik itu semua kewajiban mereka
yang utama tetap satu. Belajar.
Dengan kecerdasannya Syafii berhasil menaklukan pelajaran
yang ada dan mendapat nilai yang bagus, ia di rekomendasikan para guru untuk
lompat kelas. Sekolahnya jadi lebih cepat. Namun segala kecerdasan dan
kepintaran otaknya tak menjamin kelancaran hidupnya. Pada tahun 1947 terjadi
Perang Revolusi mempertahankan kemerdekaan dari penjajah di Samatra Barat, hal
ini membuat kehidupan berubah drastis. Sekolah Rakyat hampir tergusur dan tak
bisa mengeluarkan ijazah untuk murid muridnya. Makdiah terpaksa menjadi buruh
dagang di pasar karena tak bisa melanjutkan sekolah. Begitu juga Hasan yang
memilih mencangkul disawah untuk membantu kebutuhan Ibunya. Pun dengan Julai
dan Zainal yang memilih bekerja sembari mengaji untuk menyambung hidup. Tapi
tidak dengan Syafii, dengan kemauan keras, mimpi mimpi dan otaknya yang cemerlang dia berhasil masuk di Madrasah
dan melanjutkan sekolah lagi. Selama 3 tahun dia mendapat banyak ilmu disana
dan membuat hasratnya untuk terus menimba ilmu semakin kuat. Hal itu berbanding
terbalik dengan kondisi keluarga yg semakin memprihatinkan. Setelah ia lulus dari
madrasah ayahnya sudah tua dan masih memiliki tanggungan 14 anak yang masih
kecil. Pertimbangan ini membuatnya berpikir ulang untuk sekolah lagi dan
kemudian menuntutnya untuk bekerja membantu kondisi ekonomi keluarga.
Nasib orang tak ada yang tahu ketika Allah sudah
berkehendak. Ditengah kebingungan hati dia mendapat tawaran emas dari
tetangganya Sanusi Latief untuk melanjutkan sekolah di Yogyakarta, pusat
pendidikan pada jaman itu. Diiringi kesedihan keluarga bercampur harapan besar
pada masa depan, Syafii Maarif memutuskan pergi ke Yogyakarta dan berjuang
untuk hidupnya. Disini awal perjuangan dimulai dengan segala keringat dan kerja
kerasnya ia berusaha menaklukan tanah rantau dan mimpinya.
Favorite
quote
"Kadang kadang manusia memiliki ketakutan yang jauh lebih besar daripada masalah itu sendiri, sedemikian besarnya, sampai katakutan ini menutupi keberanian mereka - Ma'rifah Rauf"
Review
Entah mengapa saya melihat sedikit diri saya di diri Pi'i,
seorang anak kampung yang memutuskan merantau dan berjuang di kota orang. Dan
saya kira ini juga yang dirasakan oleh anak anak rantau lain. Dari buku ini
saya jadi bersyukur dilahirkan pada jaman sesudah kemerdekaan. Karena saya
tidak bisa membayangkan hidup di desa sangat terpincil yang jauh dari fasilitas
dan kemudahan. Untuk ke kota saja harus berjalan kaki dengan jarak 48km, saat
itu juga mereka harus ikut berjuang melawan penjajah mengorbankan diri dan
harta benda.
Buku ini juga mengajarkan bahwa seharusnya kecerdasan ilmiah
juga harus diimbangi dengan iman dan ilmu agama. Perfect combination.
wah buku yg mencerdaskan nih dan kayaknya layak buat dinikmati....
BalasHapusIya recommended kak, setting tempatnya juga ada di jogja jaman dulu, sekitaran kauman hehe
HapusUntung kamu sabar baca buku ini ya mbak? kalau enggak, mungkin kamu nggak baca sampai selesai dan nggak nemu konflik2 didalam buku ini :))
BalasHapusquotenya bagus :))
iya untuk ukuran pecinta drama spt saya untung saya sabar menghadapi buku ini, kalo enggak mungkin gak ada postingan ini hehe
Hapus