Senin, 11 Januari 2016

SI ANAK KAMPOENG, DAMIEN DEMATRA




Novel ini menceritakan tentang kisah nyata dari perjalanan hidup Buya Syafii Maarif, salah satu tokoh Muhammadiyah sekaligus  guru spiritual yang cerdas.

Ahmad Syafii Maarif dilahirkan di desa Calau, Sumpur Kudus, Sumatra Barat pada tahun 1937. Beberapa bulan setelah ia dilahirkan Ibunya Fathiyah meninggal dunia, sehingga membuatnya dibesarkan oleh bibinya Bainah (Etek Bainah). Namun hal itu tak membuat kasih sayang ayahnya Ma'rifah Rauf berkurang. Ma’rifah Rauf  adalah seorang kepala nagari (kepala desa) yang yang gagah dan bersahaja, setiap hari ia disibukan dengan  bertani dan bertenak. Meskipun ayahnya menikah lagi dengan beberapa wanita dan memiliki banyak anak karena tuntutan adat, tak membuatnya luput memperhatikan perkembangan Pi'i -panggilan Syafi'i kecil-

Pi'i tumbuh menjadi anak yang terlihat berbeda dari anak anak diusianya. Cepat menangkap pelajaran, rajin, dan santun. Ia tumbuh menjadi anak yang cerdas. Bersama 4 orang sahabatnya Hasan, Makdiah, Julai dan Zainal ia menghabiskan masa kecilnya di Sekolah Rakyat Sumpur Kudus. Letak desa yang terpencil dan jauh dari pusat kota yakni 150 km dari kota Padang, tak menghalangi mereka untuk menikmati masa kecil mereka. Mandi di sungai, bermain lumpur disawah adalah hal yang sering mereka lakukan setiap hari. Mencangkul disawah dan menggembala ternak juga mereka kerjakan untuk membantu keluarga. Begitulah hidup di desa kecil, harus serba bisa. Namun dibalik itu semua kewajiban mereka yang utama tetap satu. Belajar.

Dengan kecerdasannya Syafii berhasil menaklukan pelajaran yang ada dan mendapat nilai yang bagus, ia di rekomendasikan para guru untuk lompat kelas. Sekolahnya jadi lebih cepat. Namun segala kecerdasan dan kepintaran otaknya tak menjamin kelancaran hidupnya. Pada tahun 1947 terjadi Perang Revolusi mempertahankan kemerdekaan dari penjajah di Samatra Barat, hal ini membuat kehidupan berubah drastis. Sekolah Rakyat hampir tergusur dan tak bisa mengeluarkan ijazah untuk murid muridnya. Makdiah terpaksa menjadi buruh dagang di pasar karena tak bisa melanjutkan sekolah. Begitu juga Hasan yang memilih mencangkul disawah untuk membantu kebutuhan Ibunya. Pun dengan Julai dan Zainal yang memilih bekerja sembari mengaji untuk menyambung hidup. Tapi tidak dengan Syafii, dengan kemauan keras, mimpi mimpi dan otaknya  yang cemerlang dia berhasil masuk di Madrasah dan melanjutkan sekolah lagi. Selama 3 tahun dia mendapat banyak ilmu disana dan membuat hasratnya untuk terus menimba ilmu semakin kuat. Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi keluarga yg semakin memprihatinkan. Setelah ia lulus dari madrasah ayahnya sudah tua dan masih memiliki tanggungan 14 anak yang masih kecil. Pertimbangan ini membuatnya berpikir ulang untuk sekolah lagi dan kemudian menuntutnya untuk bekerja  membantu kondisi ekonomi keluarga.

Nasib orang tak ada yang tahu ketika Allah sudah berkehendak. Ditengah kebingungan hati dia mendapat tawaran emas dari tetangganya Sanusi Latief untuk melanjutkan sekolah di Yogyakarta, pusat pendidikan pada jaman itu. Diiringi kesedihan keluarga bercampur harapan besar pada masa depan, Syafii Maarif memutuskan pergi ke Yogyakarta dan berjuang untuk hidupnya. Disini awal perjuangan dimulai dengan segala keringat dan kerja kerasnya ia berusaha menaklukan tanah rantau dan mimpinya.


Favorite quote

"Kadang kadang manusia memiliki ketakutan yang jauh lebih besar daripada masalah itu sendiri, sedemikian besarnya, sampai katakutan ini menutupi keberanian mereka - Ma'rifah Rauf"


Review

Saya mendapat referensi buku ini dari teman saya, awalnya saya tidak tahu menahu tentang sosok Buya Syafii Ma'arif, kemudian saya mencoba googling dan ya, beliau adalah orang yang hebat. Menurut saya buku ini 60% menceritakan kehidupan masa kecil Pi'i dan sisanya setelah ia tumbuh besar. Jujur diawal buku, saya kurang begitu excited karena tidak ada konflik yang nyata. Namun menuju tengah, ceritanya mulai terbangun dan lebih menarik.

Entah mengapa saya melihat sedikit diri saya di diri Pi'i, seorang anak kampung yang memutuskan merantau dan berjuang di kota orang. Dan saya kira ini juga yang dirasakan oleh anak anak rantau lain. Dari buku ini saya jadi bersyukur dilahirkan pada jaman sesudah kemerdekaan. Karena saya tidak bisa membayangkan hidup di desa sangat terpincil yang jauh dari fasilitas dan kemudahan. Untuk ke kota saja harus berjalan kaki dengan jarak 48km, saat itu juga mereka harus ikut berjuang melawan penjajah mengorbankan diri dan harta benda.


Buku ini juga mengajarkan bahwa seharusnya kecerdasan ilmiah juga harus diimbangi dengan iman dan ilmu agama. Perfect combination.

4 komentar:

  1. wah buku yg mencerdaskan nih dan kayaknya layak buat dinikmati....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya recommended kak, setting tempatnya juga ada di jogja jaman dulu, sekitaran kauman hehe

      Hapus
  2. Untung kamu sabar baca buku ini ya mbak? kalau enggak, mungkin kamu nggak baca sampai selesai dan nggak nemu konflik2 didalam buku ini :))

    quotenya bagus :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya untuk ukuran pecinta drama spt saya untung saya sabar menghadapi buku ini, kalo enggak mungkin gak ada postingan ini hehe

      Hapus